Artikel “Frans Van Lith” – Kelompok 8

Relevansi Nilai-Nilai Romo Van Lith dalam
Mewujudkan Keadilan Sosial di Indonesia Modern
Warisan seorang Jesuit yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan dan keadilan tetap
bergema kuat di Indonesia kontemporer, di mana ketimpangan dan ketidakadilan masih
menjadi tantangan besar.
Romo Fransiscus van Lith, SJ, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah
pendidikan dan transformasi sosial di Indonesia. Kedatangannya ke Jawa pada tahun 1896
bukan sekadar untuk menyebarkan iman, tetapi untuk meletakkan dasar-dasar humanisme,
keadilan sosial, dan transformasi melalui pendidikan. Nilai-nilai yang diperjuangkannya
seperti penghormatan terhadap martabat manusia, pelayanan tanpa diskriminasi, dan komitmen
pada keadilan—ternyata masih sangat relevan dengan situasi masyarakat Indonesia saat ini,
bahkan mungkin lebih dari sebelumnya.

  1. Relevansi Nilai-Nilai Romo Van Lith dalam Konteks Kontemporer
  • Transformasi Sosial melalui Pendidikan
    Romo Van Lith percaya bahwa pendidikan adalah kunci transformasi sosial yang
    berkelanjutan. Keyakinan ini masih sangat relevan today, mengingat pendidikan tetap
    menjadi jalur utama untuk mobilitas sosial dan pengurangan kemiskinan. Data Badan Pusat
    Statistik (BPS) per September 2024 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia
    masih mencapai 8,57%, dengan disparitas yang signifikan antara wilayah perkotaan (7,09%)
    dan perdesaan (11,79%).
    Pendidikan humanistik yang diperjuangkan Van Lith sejalan dengan Kurikulum
    Merdeka yang kini diterapkan di Indonesia. Kurikulum ini menekankan kebebasan belajar,
    pengembangan potensi siswa, dan peran guru sebagai fasilitator—nilai-nilai yang sangat
    konsisten dengan pendekatan Van Lith. Sayangnya, praktik pendidikan kita masih sering
    terjebak pada pendekatan behavioristik yang kaku, mengabaikan aspek manusiawi yang
    justru menjadi inti dari proses pendidikan.
  • Humanisme dan Penghargaan Martabat Manusia
    Van Lith menjunjung tinggi penghormatan terhadap manusia tanpa memandang suku,
    agama, ras, atau kelas sosial. Nilai ini sangat relevan dalam konteks Indonesia today, di
    mana ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi masalah serius. Data menunjukkan
    bahwa kelas menengah Indonesia menyusut dari 60 juta orang pada 2018 menjadi 47,9 juta
    jiwa pada 2024, hanya mencakup 17% dari total populasi.
    Nilai humanisme Van Lith juga selaras dengan teori belajar humanistik Abraham Maslow,
    yang menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan hierarkis (dari fisiologis hingga
    aktualisasi diri) bagi perkembangan manusia. Dalam konteks ini, pendidikan tidak boleh
    hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi harus memperhatikan kebutuhan holistik peserta
    didik.

  • Keadilan Sosial dan Preferensi untuk Kaum Marginal
    Perjuangan Van Lith untuk keadilan social (khususnya dalam memberi akses pendidikan
    bagi pribumi) mencerminkan semangat preferential option for the poor yang menjadi inti
    dari ajaran sosial Katolik. Nilai ini sangat relevan today, mengingat ketidakadilan struktural
    masih menghambat upaya mewujudkan keadilan sosial.
    Sejarawan politik Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah (1377 M) mengingatkan
    bahwa solidaritas dan keadilan sosial adalah fondasi utama stabilitas dan kelangsungan
    negara. Tanpa keadilan sosial, masa depan Indonesia bisa menjadi “gelap,” sebagaimana
    diingatkan dalam tagar viral #IndonesiaGelap yang mencerminkan kekecewaan masyarakat
    terhadap kebijakan yang tidak pro-rakyat kecil.
  1. Argumen Mengapa Nilai-Nilai Tersebut Masih Relevan
  • Ketimpangan yang Masih Tajam
    Meski angka kemiskinan secara nasional menurun, ketimpangan antardaerah masih sangat
    tinggi. Misalnya, disparitas antara kemiskinan terendah di Bali (4,00%) dan tertinggi di
    Papua Pegunungan (32,97%) mencapai 28,97%. Kondisi ini menunjukkan
    bahwa pembangunan belum berkeadilan dan kebijakan publik seringkali tidak
    memprioritaskan kelompok marginal.
  • Ancaman terhadap Kohesi Sosial
    Ketidakadilan sosial tidak hanya bermuara pada kemiskinan material, tetapi juga pada erosi
    solidaritas dan kepekaan sosial. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai Van Lith tentang kasih,
    pelayanan, dan penghargaan martabat manusia menjadi penting untuk menjaga kohesi
    sosial dan mencegah polarisasi yang semakin dalam.
  • Komitmen Konstitusional yang Harus Diwujudkan
    Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
    oleh negara.” Ini adalah amanah konstitusi yang belum sepenuhnya terwujud. Nilai-nilai
    Van Lith tentang keadilan dan pelayanan kepada kaum marginal dapat menjadi inspirasi
    untuk memperkuat komitmen ini.
  1. Implementasi Nilai-Nilai Romo Van Lith dalam Konteks Kekinian
  • Memperkuat Pendidikan Humanistik dalam Kurikulum Merdeka
    Pendidikan humanistic (seperti yang diperjuangkan Van Lith) dapat diimplementasikan
    melalui penguatan peran guru sebagai fasilitator yang menghargai otonomi dan kebebasan
    siswa. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga memfasilitasi pengembangan potensi siswa,
    mendorong kreativitas, dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

  • Kebijakan yang Berpihak pada Kaum Marginal
    Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan preferential option for the poor dalam
    merumuskan kebijakan publik. Ini berarti kebijakan harus diuji berdasarkan dampaknya
    pada kelompok paling rentan. Sebagaimana ditegaskan dalam A Theory of Justice karya
    John Rawls (1971), ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan jika itu menguntungkan
    mereka yang paling tidak berdaya.
    Strategi penanganan kemiskinan yang dilakukan pemerintah (melalui penurunan beban
    pengeluaran, peningkatan pendapatan, dan pengurangan kantong kemiskinan) perlu
    diperkuat dengan pembaruan data yang dinamis dan kolaborasi pentahelix antara
    pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat, dan media.

  • Gerakan Sosial yang Mengutamakan Pelayanan dan Kasih
    Nilai-nilai Van Lith tentang kasih dan pelayanan dapat diwujudkan melalui gerakan sosial
    yang mengutamakan kepentingan kaum marginal. Spirit Vinsensian (yang menekankan
    kasih nyata kepada sesama, terutama yang miskin dan terpinggirkan) dapat menginspirasi
    lahirnya lebih banyak inisiatif akar rumput yang transformatif.
    Gereja dan organisasi keagamaan lain dapat memainkan peran penting dalam advokasi
    keadilan sosial, sebagaimana dilakukan Van Lith. Ini sejalan dengan ajaran Gereja Katolik
    yang menekankan bahwa “tanpa preferensi untuk kaum miskin, proklamasi Injil berisiko
    disalahpahami atau tenggelam”.

  • Penutup: Menjemput Masa Depan yang Lebih Adil
    Nilai-nilai yang diperjuangkan Romo Van Lith (transformasi melalui pendidikan, humanisme,
    keadilan sosial, kasih, pelayanan, dan penghargaan terhadap martabat manusia) bukan sekadar
    warisan sejarah, melainkan kompas moral yang tetap relevan untuk Indonesia masa kini.
    Dalam situasi di ketimpangan dan ketidakadilan masih menjadi tantangan serius, nilai-nilai ini
    dapat menuntun kita toward pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
    Seperti diingatkan oleh Yudi Latif (2018), keadilan sosial adalah inti dari ketuhanan,
    kemanusiaan, persatuan, dan kedaulatan rakyat. Karena itu, mewujudkan keadilan sosial bukan
    hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab semua elemen bangsa. Dengan menjadikan
    nilai-nilai Van Lith sebagai inspirasi, kita dapat bekerja bersama untuk menjemput masa depan
    Indonesia yang lebih adil dan manusiawi.

One response to “Artikel “Frans Van Lith” – Kelompok 8”

  1. wowww kerennn

Leave a Reply to Christopher Lee Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *